Sejumlah pengusaha tahu tempe di Kota Bogor melakukan aksi mogok produksi, Senin (21/2). Aksi mogok tersebut rencananya digelar tiga hari, mulai Senin hingga Rabu (21-23/2). Salah satu pengusaha tahu tempe di Kota Bogor, Mumuh Mulyana (60), mengungkapkan, aksi ini bukan untuk mencari masalah, melainkan mencari solusi agar harga kedelai kembali turun dan normal.
“Iya kita mulai hari ini. Bukan mau cari masalah ya. Tapi, kita mencari solusi dengan aksi ini. Biar pemerintah melek dan konsumen pun sama bahwa harga kedelai sedang tinggi,” ucapnya.
Mumuh menjelaskan, solusi dari pemerintah sudah sangat ditunggu. Sebab, kenaikan harga kedelai sudah berangsur terjadi sejak awal tahun.
“Kita ini wong cilik. Kalau terus-terusan naik, kita mau makan di mana. Katanya pemerintah membela wong cilik. Tapi kenyataannya mana yang dibela,” terangnya.
Dalam kesempatan ini, pihaknya juga meminta pemerintah mampu menciptakan lapangan pertanian kedelai. Sebab, mengandalkan impor bukanlah solusi.

“Buat apa banyak orang pintar mengenai pertanian, kalau belum bisa mengembangkan kedelai. Saya rasa pemerintah harus membuat sektor pertanian kedelai dengan nyata,” ujarnya.
Sekadar diketahui, harga kedelai saat ini mencapai Rp12.000 per kilogram dari semula hanya berkisar di angka Rp8.000 per kilogram. Imbasnya, harga tahu dan tempe melonjak dua kali lipat.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, angkat suara terkait aksi mogok produksi yang dilakukan sejumlah pengusaha tahu tempe di Kota Bogor.
Aksi yang bakal berlangsung tiga hari sejak Senin hingga Rabu (21-23/2) itu diklaim pengusaha sebagai aksi protes imbas harga kedelai yang semakin tinggi saat ini.
Menurut Dedie, pihaknya sebenarnya sudah mendapat informasi dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengenai harga kedelai yang masih tinggi di pasaran saat ini. Di mana tingginya harga bahan baku tahu tempe itu terjadi karena dua hal.

Pertama, terjadi persoalan karena sistem distribusi antarnegara terkait kontainer dan pelabuhan. Kedua, terjadi perubahan masa tanam di Amerika Serikat, sehingga mengakibatkan mundurnya masa panen.
“(Jadi) Pada prinsipnya hal ini tidak bisa dikendalikan langsung oleh kita, karena ini semua semata-mata ketergantungan kita kepada pihak importir,” kata Dedie, Senin (21/2).
“Ke depan, kita berharap kedelai lokal ini bisa dibudidayakan dan ditumbuh kembangkan di Indonesia secara lebih luas, sehingga hal seperti ini tak terjadi lagi,” sambungnya.
Selain membudidayakan kedelai lokal, jelas Dedie A Rachim, ada cara lain yang bisa digunakan masyarakat untuk mengatasi kelangkaan tahu tempe ini. Yakni, dengan cara melakukan perubahan konsumsi makanan, artinya mengganti makanan tahu tempe dengan makanan yang memiliki sumber-sumber protein nabati lainnya.
“Jadi, kalau masyarakat membutuhkan protein nabati hal itu bisa diperoleh dari sumber-sumber protein nabati yang lain,” ujarnya.
“Artinya, kita tidak selamanya tergantung produk-produk termasuk bahan pertanian impor yang menjadi bahan baku dari tahu tempe,” lanjutnya.

Disinggung apakah memungkinkan Kota Bogor mengembangkan budidaya kedelai, sambung Dedie A Rachim, hal tersebut tidak mungkin, karena Kota Bogor keterbatasan lahan.
Meski begitu, pihaknya meminta baik Litbang Pertanian, IPB, perguruan tinggi lainnya serta instansi terkait dapat memikirkan solusi bersama-sama agar ketergantungan impor kedelai bisa teratasi di kemudian hari.
“Kita berharap semua pihak bisa ikut memikirkan ke depan supaya tak terjadi lagi hal seperti ini,” pungkasnya.